Home » » Misteri Sebuah Aktivitas Bernama “Membaca”

Misteri Sebuah Aktivitas Bernama “Membaca”

Oleh Rifki Mochamad Firdaus


Berjuanglah untuk mengungkap misteri (kehidupanmu)
sebelum kehidupan itu direnggutkan darimu.
Jika selagi hidup kau gagal menemukan dirimu,
mengenali dirimu,
bagaimana kau bisa memahami rahasia keberadaanmu
sesudah kau mati?

Fariduddin Attar

Dewasa ini, kita hidup dalam sebuah dimensi ruang dan waktu bernama misteri. Betapa tidak, hidup pun sudah menjadi sebuah misteri tersendiri. Tak ada seorang pun manusia yang mampu menterjemahkan hari esok kedalam sebuah kepastian, yang ada hanya sebuah kemungkinan. Kemungkinan diantara tercapai atau kandasnya cita. Gagal atau berhasilnya sebuah rencana. Ya atau tidak dalam mengambil sebuah keputusan. Memilih melanjutkan hidup dengan segala problemanya, atau mati berkalang tanah saja sebagai pertanda kebuntuan dalam menjalani hidup. Serta berbagai macam kemungkinan-kemungkinan lainnya, dan itu adalah sebuah misteri.

Jiwa kita pun mungkin saat ini masih bertanya-tanya, “Untuk apa aku hidup?” Jawaban yang muncul dari pertanyaan tersebut akan sangat beragam. Ada yang berkilah, “Aku hidup sebagai khalifah di belantara bumi. Menjadi wakilNya untuk memakmurkan jagat raya ini.” Atau “Aku hidup untuk mencapai semua keinginanku, mewujudkan setiap kehendak yang muncul, bagaimanapun itu caranya.” Bahkan hingga ke jawaban yang paling sederhana “Aku hidup untuk makan, tidur serta bereproduksi.” Lantas dari sekian jawaban yang mengemuka, manakah yang lebih tepat? Semua berpulang kepada pribadinya masing-masing. Karena pertanyaan untuk apa aku hidup, itu berisi sebuah muatan misteri. Yang pada akhirnya akan terlahir sebuah konklusi, bahwa hidup ini adalah sebuah misteri. Seperti yang sering didengung-dengungkan oleh mereka yang disebut motivator: “Kemarin adalah kenangan, Esok adalah Harapan dan Hari ini adalah Kenyataan.” Dan dapat dipastikan bahwa harapan itu adalah sesuatu hal yang belum diketahui ihwal kepastiannya, itu pun merupakan sebuah misteri.

Misteri adalah sesuatu hal yang belum kita ketahui secara gamblang. Misteri adalah sebuah pertanyaan yang harus dicari jawabannya. Dan misteri itu senantiasa hadir dalam kehidupan kita. Cara untuk mengungkap sebuah misteri, adalah dengan menyingkap tabir yang melingkupinya. Laiknya menjalani esok hari dengan penuh semangat yang merupakan jalan untuk mengdzahirkan sesuatu yang ghaib.

Bagaimana halnya dengan membaca? Apakah ada misteri yang bersembunyi di baliknya? Pastinya anda akan menganggukkan kepala, pertanda setuju bahwa aktivitas membaca pun adalah sebuah misteri. Kenapa saya berasumsi demikian? Itu tidak lain ketika judul sebuah buku dibaca, sebuah pertanyaan akan mengemuka seketika. “Kenapa sang penulis mengambil judul yang sedemikian rupa?” “Apa isi dari buku tersebut?” “Menarikkah buku itu?” “Apa manfaat yang bisa dicerap dari buku tersebut?” serta banyak lagi letupan pertanyaan demi pertanyaan yang muncul daripadanya.

Saya coba mengambil sebuah contoh dari buku “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim” karya Salim A. Fillah. Judulnya saja sudah menebarkan aroma penuh penasaran serta keingintahuan. Kita dibuat untuk berpikir serta berdialog dengan batin, “seorang muslim itu bagaimana kriterianya?” Lantas ketika jari jemari terampil membolak-balikkan halaman demi halaman yang ada. Dalam daftar isi, segera ditemui beberapa tema seperti: Kain-kain rombeng, memintal seutas benang, menggelas benang lelayang dan lain sebagainya. Tema demi tema tersebut pada akhirnya akan kembali mencetuskan berbagai pertanyaan. “Apa hubung kait antara kain dengan jatidiri seorang muslim?” itulah sebuah misteri. Hingga pada akhirnya kita akan digiring menuju sebuah lorong gua, yang dindingnya penuh pahatan serta relief-relief yang memberi setitik informasi: Menjadi muslim adalah menjadi kain putih. Lalu Allah mencelupnya menjadi warna ketegasan, kesejukan, keceraiaan, dan cinta; rahmat bagi semesta alam. Dan itu pun sebuah misteri.

Ketika tempo hari rekam jejak langkah kehidupan ini bertandang ke sebuah dusun bernama pananjung, banyak misteri yang menarik untuk diungkap. Dusun yang lebih terkenal dengan label Pangandaran ini, dahulu kala konon merupakan sebuah kerajaan. Sekilas hal itu bisa kita dapati dari berbagai macam peninggalan yang terdapat di gua-gua, yang berada disekitaran pangandaran. Ada semacam singgasana kerajaaan yang terbuat dari batu, adapula kuburan yang entah siapa penghuninya. Terlepas dari itu semua benar ataupun tidaknya, itu bukanlah menjadi domain kita untuk memproklamirkan info tentangnya. Pelajaran sederhana yang bisa kita ambil, hasil dari aktivitas membaca fenomena serta tanda-tanda yang terpatri di alam adalah dahulu ada kehidupan disini. Kehidupan yang sama kita cicipi saat ini. Darinya peradaban coba dilahirkan, meskipun hanya berbentuk ukiran serta pahatan batu sederhana semata. Yang berwujud bulat ataupun kotak, menyerupai sebuah kursi serta meja pada masa sekarang.

Di pangandaran, dahulu ada sebuah riwayat kehidupan. Lengkap dengan hiruk pikuk manusia serta atributnya. Pananjung dalam bahasa sunda yakni pangnanjung-nanjungnya, yang berarti paling subur atau makmur, adalah sebuah intisari kehidupan. Subur serta makmur itu diciptakan, tidak seketika ada. Ada proses panjang dalam usaha mewujudkannya, dan itulah Inti sebuah kehidupan. Yang asal muasalnya berawal dari ketiadaan, hingga menjadi ada. Hal tersebut adalah konklusi sederhana hasil dari proses membaca. Membaca memang mudah, semudah membalikkan halaman demi halaman buku. Namun membaca untuk mengambil sebuah informasi yang mendalam, hal tersebut akan sedikit sukar. Karena aktivitas itu berkaitan dengan sejauh mana kita bisa mengkaji gejala alam yang ada, serta mengambil persamaan dengan kehidupan yang kita jalani saat ini. Pada akhirnya membaca pun menjadi sebuah misteri tersendiri. Karena darinya bisa terlahir fakta-fakta baru, informasi serta pengetahuan yang tentunya akan berkaitan erat dengan kehidupan ini. “Membacalah! Karena darinya engkau akan mampu menguak sebuah misteri?” Wallahu a’lam.***

RIFKI MOCHAMAD FIRDAUS
Forum Lingkar Pena Purwakarta
Share this article :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. Forum Lingkar Pena (FLP) Jawa Barat - All Rights Reserved