Home » » Mengukir Sejarah: Antara Tokoh, Cermin Pembelajaran, dan Nilai

Mengukir Sejarah: Antara Tokoh, Cermin Pembelajaran, dan Nilai

Oleh Fuji Asri Endah Lestari

BANGSA YANG BESAR adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Kalimat ini mungkin kau kenal saat Sekolah Dasar, ketika guru mulai membahas pelajaran sejarah di kelas 3. Ya, sejarah. Pilar yang menentukan suatu pembangunan bangsa dalam segala aspek pada masa berikutnya. Bisakah kita lari dari sejarah? Nyatanya tidak. Sejarah bangsa kita sendiri mencatat kehidupan rakyat yang sejahtera selama 32 tahun pemerintahan orde baru ternyata menyimpan kerapuhan yang teramat didalam. Dan nampakknya sejak era tersebut berakhirpun bangsa kita menjadikan sejarah korupsi ini bermetmorfosis menjadi suatu peradaban manusia Indonesia hingga saat ini. Luar biasa!

Jika kau telusuri satu per satu situs, museum, atau bahkan gua-gua tua peninggalan masa lampau, maka kau akan temui sinopsis sejarah disana. Terlepas dari mitos atau fiksi belaka, namun itulah sejarah yang beredar dan (nampak) dipercaya masyarakat. Kita dapat mengamati bersama sinopsis-sinopsis singkat pada setiap mulut gua di Cagar alam Pangandaran, hampir terdapat sinopsis yang jauh dari nalar di setiap gua. Tidak realistis--setidaknya bagi saya--bersama dengan mitos-mitos seputar laut kidul. Entahlah, yang menarik adalah, terdapat sejarah yang berbeda di setiap gua dan beberapa makam yang hanya merupakan simbolis dari sejarah yang pernah terjadi di gua tersebut. Simbol yang menegaskan, bahwa hanya nama yang tertinggal di dunia ketika manusia meninggalkan dunia.

Ada dua hakikat yang ditinggalkan oleh sejarah adalah “tokoh” dan “cermin pembelajaran”, dimana kedua hakikat ini akan melebur menjadi sebuah “nilai”. Bicara soal sejarah, pasti akan menyebut sebuah nama sebagai tokoh sejarah. Contoh, sebut saja Soekarno dan Hatta sebagai tokoh dalam sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, atau mungkin Hitler dalam sejarah kekejaman Nazi di Prancis. Ketiganya tampil sebagai tokoh dalam sejarah bangsa mereka masing-masing, tapi esensi ketiganya dalam sejarah sangatlah berbeda. Bicara soal tokoh meskipun dalam konteks sejarah, maka kita akan berada pada dua karakter tokoh seperti halnya dalam cerita fiksi, tokoh protagonis dan antagonis. Soekarno dan Hatta akan menjadi tokoh protagonis tentu dalam konteks sejarah kemerdekaan bangsa kita, sementara Hitler yang awalnya dipandang sebagai penyelamat bangsa Prancis, pada akhirnya ditetapkan sebagai tokoh antagonis dalam Revolusi Prancis dengan segala kekejaman dan kebijakannya yang diktator dalam bendera NAZI.

Hakikat kedua dari sejarah adalah cermin pembelajaran. Sejarah tidak terjadi begitu saja, tentu ada campur tangan Tuhan didalamnya. Ada pesan yang ingin disampaikan oleh Pemilik Alam dalam sejarah jika kita mau berpikir. Sejarah bangsa Eropa adalah mengeksvansi daerah lain yang belum berkembang, menjajah dengan mengeksplorasi sumber kekayaaan alam dan mineralnya, bahkan mengeksplorasi sumber daya manusia, serta membiarkan bangsa di daerah jajahannya menderita. Sejarah bangsa Afrika yang menderita dengan politik apartheidnya mendorong bangsa tersebut berjuang melalui seorang Nelson Mandela untuk menghilangkan diskriminasi ras tersebut.  Bangsa Eropa dan Amerika mungkin masih belajar dari sejarah nenek moyangnya dengan mengeksvansi daerah-daerah bangsa lain secara halus. Dan bangsa Afrika, sukses memperjuangkan sejarahnya melawan politik apartheid dan tampil menjadi bangsa kulit hitam yang sukses di beberapa Negara, khususnya Amerika, meskipun belakangan di arena sepak bola diskriminasi dan pelecahan terhadap ras kulit hitam kerap terjadi. Lalu, mungkin saja bangsa Indonesia belajar dari sejarah pahitnya dijajah sehingga tak ingin merasakan mengeksvansi negara lain dan masih saja di eksvansi secara halus oleh bangsa asing melalui kekayaan mineralnya atau bahkan sumber daya manusianya. Boleh jadi juga, seperti yang telah dikatakan bangsa kita “salah” mempelajari sejarah. Sejarah korupsi dijadikan budaya dan metamorfosis peradaban generasi berikutnya. Hampir menjelang 14 tahun bangsa ini ada dalam zona reformasi, tapi dalam kurun waktu itu pula bangsa Indonesia belajar dan mengadaptasi sejarah laten korupsi. Inti dari “cermin pelajaran” dari hakikat sejarah adalah, bahwa sejarah menjadi gambaran untuk perbaikan generasi kehidupan manusia mendatang--seharusnya--sehingga manusia dapat memperbaiki peradaban. Kenapa kita tak pernah belajar dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam mengentaskan kemiskinan yang mencatat kebingungan kaum Muslimin pada masa itu. Khalifah memimpin hanya sebentar, namun dalam waktu yang sebentar itu tak ada lagi faqir miskin yang bisa disedekahi.

Peleburan dua hakikat sejarah akan menjadi sebuah nilai yang masih merupakan pilihan. Seperti dua karakter tokoh (protagonis dan antagonis), maka nilai sejarah menjadi pilihan nilai positif dan nilai negatif. Penentuan nilai ini tentu saja dengan mengedepankan aspek kebermanfaatan sejarah, dimana sejarah memiliki nilai positif jika membangun nilai-nilai moral dan kemajuan, serta menjadi suatu identitas suatu golongan dimana sejarah itu terjadi, atau bahkan ditiru oleh golongan lain sebagai contoh untuk perbaikan dan kemajuan golongan tersebut. Atau boleh jadi sejarah bernilai negatif jika dalam keberlangsungannya banyak terjadi kezaliman yang tak dibenarkan oleh konteks apapun.

Sama seperti halnya sejarah, tokoh dalam sejarah hanya mahluk Illahi yang tak kekal. Manusia, hanya ketika ia tiada, maka yang tertinggal hanyalah namanya di nisan. Tak ada lagi yang tersisa, kecuali jika ia hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan mulia semasa hidupnya untuk sesamanya. Namanya akan terukir, meskipun gemanya tak sehebat Hittler atau Einstein. Seperti sinopsis-sinopsis prasasti itu, yang akan dibaca sekilas ribuan jiwa dan menempel pada ingatan mereka. Atau kau pernah mendengar suatu kisah, bahwa ada nama yang tak pernah mendengung di dunia, namun ia begitu bergema di surga? Kita hanya tinggal memilih, akan seperti apa sejarah hidup kita terukir. Tokoh antagonis atau protagoniskah kita dalam sejarah kita dan sesama. Jika kita berbicara belajar dari sejarah, artinya adalah kita berbicara tentang perubahan diri. Banyak diantara kita yang ingin berkembang dan mencatat rekor sejarahnya. Tapi tidak semua yang dari ingin berkembang itu mau berubah. Berbanding terbalik antara keinginan berkembang dengan kemauan berubah. Padahal sebuah perubahan dimulai dari suatu ketidaknyamanan. Silakan kau cari, takkan kau temui orang yang besar dengan masalah yang kecil. Takkan kau temukan. Jika kau besar tanpa mengalami masalah dan kau pikir hidup tanpa masalah adalah suatu kenikmatan, maka kebesaran yang kau gapai takkan ada maknanya.

Wallahu a'lam.

FUJI ASRI ENDAH LESTARI
Forum Lingkar Pena Kuningan
Share this article :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. Forum Lingkar Pena (FLP) Jawa Barat - All Rights Reserved