(Harus ada yang melakukannya, itu katamu…)
Oleh Hendra Veejay
LEE, KUSERTAKAN SEBUAH gambar buram yang pasti membuatmu terpingkal-pingkal. Pada suatu titik di kejauhan ada seseorang memegang gitar, sendirian.
Baiklah, itu aku, dan kau tahu aku tidak bisa bermain gitar. Jadi mungkin ada pertanyaan aneh yang keluar darimu, apa yang aku lakukan dengan gitar itu? Atau mungkin tepatnya sedang apa aku disitu? Entahlah, siang itu aku hanya memetik sembarang senar-senar gitar, mendengarkan nada acak yang keluar, menikmati pantai yang terbentang. Sendirian.
Saat itu aku memikirkan banyak hal. Memikirkan teman-teman yang hanya berjarak puluhan langkah dariku—mereka akan menjelajah gua-gua—memikirkan pantai yang terlalu putih dan terlalu sepi, memikirkan angin yang sedikit tidak nyaman, memikirkan sakit kepalaku, memikirkan dirimu. Mengapa kamu tidak datang padahal kamu mengatakan sudah sampai di terminal? Seharusnya kamu datang dan melihat betapa konyolnya seorang yang tidak bisa bermain gitar tapi berpose seolah dirinya maestro gitar.
Tapi tak apa, biarlah aku bercerita saja. Meski aku bukan pencerita yang baik tapi aku ingin membagi apa yang kulihat disana. Ketika matahari sedikit bergeser dari titik tengah, betapa pasir putih itu berkilauan. Aku memandanginya dan merasakan cahaya pasir jauh bergerak menerangi sekitar. Cahayanya jatuh pada pohon yang daunnya lebat, monyet-monyet yang berpapasan, tanduk rusa yang meranggah ke udara, perempuan ungu yang tengah bersin—dia cantik, kata bung Alit—lalu perempuan itu mungkin mengucapkan doa singkat, seorang dosen bertopi yang selalu mengigaukan teori linguistik dalam tidurnya, perempuan kuning yang mengirim SMS padaku—dia menyuruhku menutup pintu, sialan betul!—,rumput yang tipis, pagar kayu seperti dalam peternakan kuda, papan petunjuk dan larangan memberi makan monyet (seolah monyet itu bisa mencari makan sendiri), dinding kayu rumah tinggal, kibar jemuran celana dalam entah milik siapa…
Aku ingin meneleponmu Lee, tapi aku tak bisa, tak ada sinyal masuk ke telepon genggamku, entah kenapa. Padahal aku ingin berbagi cerita ini, seperti sahabat lama. Seperti saat ku melihatmu pertama kali, dengan seragammu yang serba merah, dengan kulitmu yang putih dan berjerawat, dengan wajahmu yang… jelek! (Aku ingin bercanda, tapi kamu memang jelek Lee…). Apa kabar istrimu? Perempuan yang akhirnya bisa kau tipu (Sekali lagi, aku ingin bercanda, tapi kamu memang pandai membuat perempuan mabuk dan tertipu…)
Maka kali ini biarlah aku menuliskannya saja semuanya, mungkin memang harus begitu sebab suara tidak menimbulkan jejak kecuali jika kamu merekamnya. Sementara tulisan suka tidak suka akan terus terkenang dan bisa ditarik sembarang waktu manakala kita saling rindu. Aku kadang merindukanmu Lee, meski kelamin kita hampir sejenis (punyaku lebih besar, punyamu lebih putih). Maksudku, ternyata rindu tidak terkait dengan bentuk kelamin.
Ah, lupakan soal kelamin! Aku hanya ingin mengenang sesuatu kala sendirian, memandangi teman-teman yang mulai bergerak meninggalkanku di pondokan kayu, ditemani semesta yang terpapar sejauh mataku mampu merekamnya. Begini kenangan itu datang: di sebuah panggung, pada jeda antar lagu, ketika di pertengahan lagu orang-orang beranjak pergi (aku tahu kita memang jelek dan lagu kita tidak bisa dinikmati, tapi muka kita memang setebal kulit badak waktu itu!). Saat itu aku sudah ingin pergi, harga diri tercabik—sebab mukaku tak sebadak mukamu—tapi urung demi melihatmu masih meraung di panggung, berekspresi seolah tidak terjadi apa-apa, aku berpikir andaikan ada asap muncul tentu aksimu terlihat lebih heroik sekaligus menyembunyikan fakta bahwa kursi penonton telah kosong (Tapi sialan betul, kita selalu bernyanyi di tempat yang tak berasap, asap rokok sekalipun!)
Ketika akhirnya kita turun panggung, aku bertanya mengapa kamu tidak peduli pada penonton yang pergi? Kamu menjawab singkat, “Karena harus ada yang melakukannya…”. Aku tidak yakin kamu ingat, tapi aku selalu ingat kalimat itu. Dan kini kalimat itulah yang membuatku sendirian memetik gitar dengan nada tak jelas.
Ya, harus ada yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil agar yang besar menjadi lancar. Aku tidak ingin membanggakan diri Lee, tapi kalimat anak pemilik penginapan ketika aku kan pulang sedikit menohok: “Kamu yang paling rugi datang ke sini, ini pantai, tapi dua hari di sini kamu hanya diam di kamar saja!”
Lee, barangkali kamu dengan ringannya akan berkata bahwa aku tidak usah peduli dengan kalimat itu. Apakah arti sebuah kalimat yang menggores perasaan kecuali fakta bahwa ada yang berubah tentang sudut pandang pemilik perasaan? Ah, kalimatku membingungkan, jadi lebih baik tak usah dipikirkan.
Tapi sudahlah Lee, memang faktanya aku bertekun diam di kamar membereskan data-data ketika sebagian teman kita pergi mencari jalur yang tepat untuk memeriksa gua, dan kesendirianku di penginapan terpencil dalam gambar itupun semata-mata karena aku merasa perlu ada yang menjaga barang-barang (kau tahu, hari itu ada kehilangan!) juga mencetak beberapa piagam penghargaan.
Aku selalu merasa bahwa andai aku ikut mencari jalur atau ikut berkeliling ke gua-gua hari itu maka pekerjaanku tidak akan rampung. Aku selalu merasa bahwa yang perlu kulakukan adalah melaksanakan tugasku saja, tidak kurang, tidak lebih. Aku selalu merasa… yah, sekedar perasaan, bahwa aku hanya berguna bila melakukan hal-hal kecil seperti itu sebab hal-hal besar selalu di luar jangkauan nalarku. Aku tidak paham perasaan-perasaan itu, tapi Lee… ada saatnya kita tidak harus mengerti, kita hanya harus tahu.
Jadi begitulah, faktanya mataku tidak pernah bertemu dengan dinding-dinding gua itu, aku tidak pernah tahu padang rumput mana yang dipakai beristirahat oleh teman-temanku, aku tidak tahu sejauh mana perjalanan mereka hari itu. Sepanjang hari dalam kesendirian aku hanya menjanjikan pada diri sendiri bahwa aku akan kembali ke sini, aku kunikmati semua sepuas-puasnya, mungkin bersamamu, mungkin tidak, mungkin bersama kekasihku, mungkin juga tidak. Lee, hidup barangkali hanya berupa giliran, dan kali ini bukan giliranku.
Hari itu aku sempat menghabiskan waktu di pantai yang bercahaya putih, sendiri. Semuanya begitu bebas, begitu bersih, begitu biru, begitu asin, begitu luas, begitu berangin, begitu sepi… Sepi, dan aku sadar kesepian inilah yang kucari-cari. Maka siang itu aku menendangi pasir yang menggunduk, membuat jejak kaki di pasir, menikmati pantai yang seolah menyapaku, aku meneriakkan nama kekasihku tanpa ada yang tahu, dan aku (sedikit) teringat padamu.
Entahlah, mungkin pantai begitu indah untuk dinikmati hingga untuk menampung setiap definisinya pun kita harus berbagi. Saat itulah kuingin menulis surat untukmu, surat yang ini. Semampuku aku menjelaskan pantai itu meski—sudah kubilang—aku bukan penulis yang baik, mungkin banyak detil yang luput, aku mohon maaf, aku sudah berusaha semampuku.
Namun Lee, setidaknya surat ini menjadikan sebuah jejak, catatan kehidupan yang renik, yang terlalu kecil tapi mungkin saja menjadi sejarah. Andai aku mati, aku ingin kamu menyimpan dan mengenang bahwa di sebuah pantai aku pernah mengingatmu. Aku masih mengingat salah satu nasihatmu yang mungkin kau sudah lupa: harus ada yang melakukannya, siapapun….
Juga mengingat wajahmu… yang jelek itu….
Bandung, 9 Januari 2011
HENDRA VEEJAY
Forum Lingkar Pena Jawa Barat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment