Home » » Surat untuk Mbak Fe

Surat untuk Mbak Fe

MBAK, SEKEDAR MENGINGAT—dan sebelum aku lupa—segera saja mbak sembunyi dasiku yang tertinggal di kasur mbak, aku takut ada pertanyaan dari orang-orang di sana karena di rumahmu tidak ada satupun penghuni yang pakai dasi.

Oh iya, semoga mbak di sana baik-baik saja. Aku sekarang sedang menyepi di sebuah pantai. Tempat yang sempurna, dan selalu… akan selalu… teringat padamu mbak: pada awal musim penghujan, pada sebuah siang yang lembab, dan betapa kenangan atas dirimu terasa semakin mengental, mbak.

Kerinduan yang kian memuncak, dan untuk itu kutulis sepucuk surat. Puluhan surat telah kukirim padamu, mbak. Dan tak satupun yang kau balas. Aku mencoba untuk mengerti. Kau pasti terlalu sibuk dengan lingkungan barumu.

Apakah teman-teman barumu lebih asyik diajak bertukar pikiran ketimbang aku, mbak? Aku tak tahu, apakah mereka juga suka menonton film seperti aku. Kau tak pernah cerita padaku. Tapi tak apa, toh aku takkan pernah bosan menulis surat untukmu, mbak. Sebab bukankah cinta hanya butuh kesetiaan, meski logika tak mau mengerti? (itu katamu dulu…)

Di luar masih gerimis, mbak. Pagi yang dingin. Jendela kamarku basah oleh tempias hujan tadi malam. Apa yang harus kuceritakan padamu sekarang? Kau tahu: terlampau banyak. Selalu terlampau banyak. Dan aku takut kau bosan. Aku selalu mengoceh tentang kenangan atas dirimu. Mbak Fe yang cantik. Mbak Fe yang pintar. Mbak Fe yang baik. Mbak Fe yang kupuja. Mbak Fe yang selalu mau kuajak ngobrol tentang film. Antusiasme yang seimbang. Kesabaran yang meladeni setiap ketukan di pintu rumahmu malam-malam, tiap kali aku datang dengan setumpuk film. “Film apa lagi yang kau bawa sekarang?” tanyamu sambil menyodorkan secangkir kopi panas.

Lalu kita menonton film-film, dan bertahan membahasnya sampai subuh. Ditemani asap rokok, bergelas-gelas kafein, keripik singkong, dan kalau aku sedang beruntung: sepiring kue-kue coklat bikinanmu. Aku suka caramu berpendapat, mbak. Aku suka caramu mendebat. Aku menikmati setiap penggal kata dari komentar-komentarmu.

Namun sayang semua itu tinggal kenangan. Karena tadi malam aku menonton film Memento sendirian. Untuk kesekian kalinya, mbak, dan tak ada lagi teman untuk berdiskusi. Padahal film itu sangat bagus. Kau seharusnya ikut menonton. Ya, berdua kita, seharusnya. Lalu kita membahasnya. Lalu kita berpendapat. Lalu kita berdebat, ditemani kue-kue coklat. Lalu...

Ah, aku terlalu sentimentil, mbak. Gerimis pagi memang selalu bikin perasaan melankolis. Tapi, Memento sendiri adalah sebuah film yang melankolis. Film tentang kenangan, penderitaan, dan kegalauan. Juga kebingungan dan kemarahan. Di layar, aktor Guy Pearce adalah Leonard Shelby. Mbak bisa memanggilnya Lenny, kalau kau mau. Dia menderita penyakit anterograde amnesia, semacam kerusakan di hippocampus yang bikin kepalanya tak mampu menyimpan memori lebih dari 15 menit. Mbak bisa memaki dia dengan umpatan paling kasar sekalipun, atau bahkan meludahinya, dan aku jamin: tak lama kemudian dia pasti sudah lupa. Dengan kata lain, dia jauh lebih pikun dari kakek-kakek penderita alzheimer kronis sekalipun.

Dan tidakkah itu kasihan? Karena Lenny harus mencari pembunuh istri tercintanya. Karena seorang perampok telah menggetok kepalanya (yang membuat dia menderita penyakit itu), lalu memperkosa istrinya. Karena Lenny masih hidup, dan harus terus hidup dengan trauma itu. Juga segumpal dendam. Maka Memento pun berkisah tentang usaha keras membalas dendam. Tapi efektifkah usaha itu?

Lenny menjawab: “…my wife deserves revenge whether or not I remember it…” Sebuah pernyataan yang masuk akal memang, tapi dari parasnya kita tahu dia kebingungan. Lenny di Memento adalah Lenny yang gusar, Lenny yang gundah, dan penonton pun bersimpati. Bersimpati? Ya. Mungkin kau juga akan bersimpati padanya, mbak. Lenny, dengan segala kekurangannya, sangat mencintai istrinya.

Ah, Mbak, tidakkah itu mengingatkanmu padaku? Aku selalu mencintaimu mbak, sampai kapanpun. Lihat, foto-fotomu masih ada di dinding-dinding kamarku, di atas mejaku, di dalam dompetku, dan di sela buku-buku. Bahkan ketika kau memutuskan untuk pergi pun, aku masih rajin berkirim surat untukmu.

Dan surat-suratku itu, mbak, yang jumlahnya puluhan dan tak satupun kau balas, adalah catatan-catatan yang menjadi bukti rasa cintaku yang tak akan pernah padam. Bukti adalah fakta-fakta, mbak. Di film Memento ini, terlihat Lenny pun sangat mengagungkan fakta-fakta.

Memory… they’re just interpretation, not a record…” ujarnya yakin, di sebuah adegan di bar. “Memories can be changed or distorted, and they're irrelevant if you have the facts...

Begitulah. Fakta-fakta, mbak. Lenny sangat percaya fakta-fakta. Sadar ingatannya sangat terbatas (dan karena itu dia tidak mempercayainya), Lenny selalu menenteng kamera Polaroid ke mana-mana. Dia memotret semuanya: orang-orang, lokasi-lokasi, juga kejadian-kejadian penting. Ya, semuanya. Lalu dia tuliskan catatan-catatan di balik foto-foto Polaroid tersebut.

Dia mengumpulkan data-data kepolisian, guntingan surat kabar, dan menelepon orang-orang. Dia bahkan membuat tato di sekujur tubuhnya: fakta-fakta terpenting seputar pembunuhan istrinya—karena tato adalah abadi. Aku paham dan maklum, mbak, karena Lenny memang sangat membutuhkannya. Tanpa foto-foto itu, tanpa catatan-catatan itu, tanpa tato-tato itu, mustahil Lenny bisa menuntaskan dendam kesumatnya.

Tapi mbak, sadarkah kau bahwa kita (yang hidup normal tanpa anterograde amnesia) sebenarnya adalah “semacam Lenny” juga? Tanpa kita sadari, kita juga membekali hidup kita dengan buku agenda, diary, jam weker, Post-It Note, dan benda-benda reminder lainnya—seolah-olah hidup kita tak bakal jalan tanpanya. Kita mem-fetish-kan barang-barang itu.

Kau tentu ingat mbak, betapa bingungnya aku saat kehilangan buku agenda, yang berarti selamat tinggal pada sekumpulan alamat penting, jadwal-jadwal harian, dan catatan berharga lainnya. Atau kau yang kelabakan ketika sadar ponselmu ketinggalan di suatu tempat. (“Nomor-nomor telepon penting ada di situ semua!” teriakmu histeris.) Atau, “Sialan, jam wekerku mati. Aku terlambat kuliah!” keluh seorang teman. Juga orang-orang yang selalu menempelkan secarik Post-It Note di pintu kamarnya (“Hari ini bayar listrik”, misalnya), untuk mengingatkan dirinya atas sesuatu yang harus segera dan sangat penting untuk dikerjakan.

Nah, bukankah berarti hidup kita juga dipenuhi dengan “berbagai-usaha-keras-untuk-mengingat”? Dan aku sendiri masih rajin membuka-buka lagi diary lamaku, untuk mengenang kembali indahnya kisah cinta kita. Begitu manis. Begitu tulus. Ah, sebuah buku harian memang sangat menghibur. Begitu manis, begitu privat. Begitu jujur. Hey, tunggu.. begitu jujur? Tiba-tiba terlintas begitu saja di pikiranku: adakah orang berbohong pada buku hariannya? Adakah orang memanipulasi ingatan dan kenangannya sendiri, demi “perasaan-yang-lebih-lega” saat membukanya kembali kelak?

Mbak, kau harus menonton sendiri film Memento, dan kau akan tahu betapa memang ada orang seperti itu: memanipulasi ingatan sebagai “alasan untuk tetap hidup”. Semacam raison d’etre, alasan untuk menjadi. Aku ingat, maka aku ada.

Salam,
Kekasihmu

HENDRA VEEJAY


Share this article :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. Forum Lingkar Pena (FLP) Jawa Barat - All Rights Reserved