Home » » Membaca Tanda: Buah Tangan dari Ujung Selatan Jawa Barat

Membaca Tanda: Buah Tangan dari Ujung Selatan Jawa Barat

Oleh Nugraha Sugiana Ridwan

MEMBACA TANDA. SEBUAH kalimat yang simpel yang sering saya temui pada waktu masih aktif di kepramukaan. Namun, setelah sekian tahun tak mendengarnya lagi, kini saya  mendengar istilah itu lagi. Bukan dari seksi pramuka di universitas, melainkan mendengarnya saat mengikuti kegiatan Upgrading Wilayah FLP Jabar di Pangandaran.

Pertama, kami diminta untuk berkumpul dan berta’aruf antar satu sama lain. Dan, itulah bagian dari ‘membaca tanda’  yang saya temukan pertama kali; membaca tanda dari keberagaman mahluk ciptaan-Nya. Ada yang tinggi, ada yang semampai, ada yang besar, ada yang biasa, ada yang berjanggut, juga tidak. Semua itu perlahan memberi sebuah pencerahan bagi saya kalau betapa sempurnanya Tuhan menciptakan kita dengan segala kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Hal itu bukanlah untuk dibuat sebagai bahan ejekan atau bahan kesombongan, melainkan agar kita saling mengerti, menghargai, mensyukuri, apa yang ada dan apa yang belum ada pada diri kita.

Setelah itu, mulailah kegiatan inti di Upgrading FLP Jabar. Semua berjalan dengan lancar. Kalaupun ada suatu kendala ataupun masalah, hampir tak sampai sepersekian persen dari jalannya acara. Itulah tanda kedua yang dapat saya baca –secara tersirat– kalau kegiatan ini telah mendapat restu dari Tuhan. Semoga saja tidak terjadi hal yang buruk kelak.

Lalu, beralih ke dalam acara lainnya. Tadabur Alam. Di sini kami dikumpulkan terlebih dahulu untuk persiapan kegiatan Tadabur alam dan diberikan pengarahan tentang apa yang harusa dan tak boleh kami lakukan saat sedang dalam kegiatan tadabur alam tersebut. Inilah tanda ketiga yang dapat saya cerna; kalau hidup tak akan bisa teratur andaikata tidak ada aturan yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh manusia lakukan di dunia. Itu juga sebabnya Tuhan mengirimkan Al-Qur’an sebagai pedoman bagi umat manusia mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya. Tujuannya hanya satu, mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Lanjut ke masalah tadabur alam, kami lanjutkan perjalanan dengan mengunjungi beberapa tempat yang ada di sekitar Pangandaran, khususnya Taman Wisata Pananjung. Lokasi yang pertama kali kami tuju adalah Gua Parat. Sebuah gua yang di dalamnya terdapat bermacam-macam jenis batuanyang terbentuk alami oleh abrasi dan titik-titik air. Entah benar atau salah, batuan itu disebut stalaktit dan stalaknit. Bentuk batuan indah yang terbentuk oleh zat kapur yang ada dalam kandungan air yang mongering setelah mengalami proses selama beberapa ratus tahun. Lagi-lagi otak saya langsung menangkap fenomena ini sebagai ‘pertanda’ yang harus saya baca makna yang tersembunyi di dalamnya. Sebuah tetesan air yang  tak seberapa, ternyata apabila menetes terus-menerus selama ratusan tahun, maka hasilnya akan membuat sebuah karya seni yang luar biasa indah. Filosofi yang dalam yang bisa saya ambil dari hal ini. “Jikalau usaha kita untuk mendapatkan sesuatu hanyalah sebesar bulir padi, tapi jika kita berusaha semaksimal mungkin dan secara kontinyu, maka niscaya suatu saat usaha kita akan berhasil dan memberikan hasil yang begitu indah”. Tak heran kalau ada pribahasa yang menyebutkan, ‘Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit’.

Destinasi dari perjalanan tadabur alam kami selanjutnya terhenti di sebuah mulut gua. Di depan mulut gua itu terdapat sebuah tugu atau semacamnya, yang berisi tentang asal-usul gua itu. Dari sanalah saya tahu kalau tempat itu dinamakan gua panggung. Sebenarnya hanya sebuah gua yang dulunya dipakai untuk semedi dan bertapa. Namun, ada sebuah kisah menyentuh di balik itu semua. Sebuah kisah tentang kesetiaan 7 orang isteri yang dulunya sering bertengkar, lalu dapat didamaikan oleh sang suami. Akan tetapi, si suami lalu pamit pergi dan meninggalkan istri-istrinya untuk bersemedi. Karena tak kunjung datang kabar, maka ketujuh istrinya mulai mendatangi gua tempat smedinya, akan tetapi, sang suami tak terlihat di sana. Karena kesetiaan seorang istri, mereka bertujuh menunggu suaminya kembali hingga akhir hayatnya. Lalu, dibuatlah sebuah tempat yang diperuntukkan bagi istri dan sang suami atas bukti cinta dan kesetiaan mereka. Karena lokasinya yang tinggi dari permukaan tanah, maka penduduk sekitar sering menyebutnya gua panggung hingga sekarang. Tak perlu disimak secara mendalam, saya sudah bisa menyimpulkan apa makna tanda yang harus saya ungkap tersebut. Sebuah tanda bukti kesetiaan yang sejati, baik suka maupun duka. Hal yang sudah jarang kita temui di zaman yang serba instant ini, bahkan hampir tidak pernah kita temui.

Kami melanjutkan perjalanan kami melalui jalan setapak yang dibuat permanen oleh pengelola taman wisata pananjung. Sebuah tanda lagi yang bisa saya ambil, kalau hidup ini haruslah sesuai jalur dan koridornya masing-masing. Jangan sampai ada silih senggol hingga mengakibatkan kontak langsung yang dapat merugikan banyak pihak. Dalam perjalanan itu pula, saya menemui beberapa jenis flora dan fauna yang hidup rukun bersama. Ada pohon-pohon yang menjulang tinggi ke angkasa, tempat tinggal beberapa hewan dan jenis serangga. Ada juga beberapa ekor kijang yang bersembunyi di balik semak-semak, entah sedang mencari makan ataupun takut karena kehadiran kita. Tapi, banyak pula kami jumpai gerombolan monyet hutan yang nampaknya sudah terbiasa dengan kehadiran manusia, sehingga dengan berani meminta makanan dari kami. Kali ini, saya mendapatkan 2 tanda sekaligus yang saling bertolak belakang. Tanda yang pertama adalah apabila ada sesuatu hal/ benda asing yang mesuk ke dalam lingkungan/ hidup kita, kita pasti akan bersikap seperti yang dilakukan oleh para kijang, merasa takut dan bersembunyi di balik semak-semak. Menganalisa, apakah hal asing itu berbahaya atau tidak. Lalu, apabila merasa tak berbahaya, sikap kita pastilah sama dengan apa yang dilakukan gerombolan monyet. Dengan berani mendekat dan mengambil makananan atau apapun itu yang menarik perhatian mereka. Tak jarang kita mengusir mereka dengan paksa karena sikap keterlaluan mereka. Begitu pula halnya manusia terhadap manusia lainnya. Apabila ada seseorang yang sudah berani bersikap kurang ngajar dan tidak mengenakan hati, pastilah langsung diusir ataupun ditinggalkan olehnya. Sebuah sikap klasik yang terjadi apabila ada yang tak berkenan di hati masing-masing individu.

Setelah beberapa saat kami bercengkrama dengan para binatang yang ada di sana, perjalanan pun kami lanjutkan kembali menuju situs batu kalde, sebuah situs makam yang di atasnya terdapat sebuah arca berbentuk mirip seekor kijang kecil. Dalam bahasa sunda, kijang kecil sering juga disebut kalde. Maka, situs makam ber-arca kijang itupun disebut batu kalde oleh masyarakat sekitar. Hanya sebuah makam dari seorang menteri kerajaan sunda yang pada masa jabatannya telah mendatangkan kemakmuran pada negrinya. Lalu, untuk mengenang jasanya, dibuatlah arca bebbentuk kijang di atas kuburannya. Tanda yang saya baca kali ini, sama sekali tak ada hubungannya dengan kepercayaan penyembah batu ataupun semacamnya (Dinamisme, Animisme, dll). Yang saya akan tekankan di sini adalah tentang rasa penghormatan seseorang pada orang lain yang sudah sangat begitu berjasa pada mereka, dan sebagai tanda terimakasihnya, dibuatkanlah sebuah symbol agar mengenang jasa-jasanya itu. Itu juga yang dilakukan banyak orang saat ini, khususnya pada pahlawan kemerdekaan ataupun orang lain yang dianggap memiliki jasa besar. Mereka dibuatkan kuburan dengan patungnya untuk mengenang jasa-jasa yang telah dilakukannya. Juga banyak lagi cara untuk menghargai jasa besar mereka. Sebuah pertanda untuk menunjukkan rasa terimakasih pada jasa-jasanya.

Perjalanan selanjutnya mengarahkan kami menuju ke lokasi gua jepang. Gua yang dulunya dijadikan tempat pesembunyian tentara jepang saat terjadi perang dunia ke 2 di daerah pangandaran. Anehnya, sebelum kami sampai di mulut gua, perjalanan kami sempat terhenti karena keberadaan sepasang monyet jantan dan betina yang sedang asyik bercengkrama. Tiap kami ingin melewatinya, mereka selalu marah dan mengejar kami. Niat para akhwat di antara kami langsung menciut. Saya pun memiliki firasat buruk. Dan, pada akhirnya terbukti kalau gua jepang sedang tidak bisa dimasuki karena berbagai macam sebab. Hal itu secara tidak langsung saling berhubungan satu sama lainnya. Sebuah pertanda dari mahluk ciptaan Tuhan, kalau ada hal yang kadangkala tidak bisa dipahami oleh akal manusia, namun dipahami oleh insting dan naluri binatang. Subhanallah.

Karena tak jadi memasuki gua jepang, rombongan memilih menuju arah lain, yakni menuju ke padang banteng. Sebuah padang luas yang ada di sekitar perbukitan hutan cagar alam pananjung, bukan hutan wisatanya. Perjalanannya pun cukup melelahkan karena harus menembus hutan dan melewati tanjakan turunan yang agak curam. Namun, di ujung perjalanan kami, rasa lelah yang terasa bisa terobati setelah melihat pemandangan yang indah di sana. Sebuah padang safana hijau yang dipenuhi oleh rumput dan ilalang yang memperindah suasana. Kami semua pun larut dalam suasana sambil sesekali bercengkrama satu sama lain. Sampai saat itu, saya sama sekali belum mendapatkan tanda yang harus saya baca. Tiba- tiba, teman membisikkan sesuatu di telinga saya. “Sebuah perjalanan panjang pasti terasa sangat melelahkan. Tapi, kita bisa mendapat imbalan yang setimpal apabila telah berhasil sampai di tempat tujuan”. Kali ini, saya bisa mendapatkan sesuatu. Sebuah usaha yang dilakukan oleh usaha sendiri akan terasa nikmat apabila dilakukan oleh usaha sendiri. Sebuah tanda tentang bagaimana kita berusaha untuk mendapatkan sesuatu dengan usaha sendiri, bukan dengan bantuan orang lain.

Perjalanan kami berlanjut ke tempat lain, menuju gua selanjutnya. Gua lanang. Gua yang disebut sebagai gua tempat pusat kerajaan yang rajanya sangat sakti mandraguna. Dia juga merupakan seorang pangeran yang memutuskan untuk mendirikan sebuah kerajaan kecil di tengah keberadaan bajak laut. Namun, sang raja tidak gentar. Ia berusaha untuk membuat sebuah kerajaan yang hebat, meskipun berada jauh dari kerajaan lain. Terbukti dengan mashurnya kerajaan itu sehingga pernah menjadi pelabuhan penting di masanya. Sebuah tanda yang ada karena usaha yang gigih dari seseorang. Menunjukan kalau setiap kita berusaha sekuat tenaga, insya’ Allah pasti hasilnya memuaskan bagi kita.

Dan, akhirnya senua yang saya dapatkan berujung pada sebuah kesimpulan. Bahwa, semua yang ada di dunia ini adalalah tanda dari sang maha pencipta. Tergantung kita saja mampu atau tidaknya membaca tanda tersebut.

NUGRAHA SUGIANA RIDWAN
Forum Lingkar Pena Kuningan
Share this article :

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright © 2013. Forum Lingkar Pena (FLP) Jawa Barat - All Rights Reserved